LAYANAN KONSULTASI DAN BANTUAN HUKUM BAGI ANGGOTA PGRI KABUPATEN MAGETAN

Jumat, 06 April 2012

PENCEMARAN NAMA BAIK


Pada masa sekarang ini Kasus Hukum terkait interaksi social rasanya makin banyak, baik kasus yang disebabkan oleh interaksi langsung maupun interaksi dengan menggunakan technologi. Masih segar di ingatan kita masalah Prita Mulyasari dengan RS. Omni (Rumah Sakit Omni Internasional). Rasa kecewa yang  ditumpahkan (curhat) melalui email dan disebarkan melalui mailing list. Akhirnya, berita kecewa itu menyebar dari satu email ke email lainnya, dari milis A ke milis B, dan seterusnya hingga akhirnya terbaca oleh pihak RS. Omni. Penyelesaian yang ditempuh dari pihak RS. Omni adalah dengan memperkarakan Prita dan berujung pada penjara dengan delik aduan pencemaran nama baik. Prita didakwa dengan Pasal 27 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (Undang-Undang ITE) tentang pencemaran nama baik lewat dunia maya.
Menilik kasus seperti yang dialami Prita, maka kita sebagai guru seharusnya lebih hati hati dalam berinteraksi, karena interaksi social kita sebagai guru terkadang harus bersinggungan pula dengan orang lain. Baik interaksi sesama rekan sejawat, masyarakat bahkan orang tua murid. Interaksi dengan relasi / teman sejawat sering juga menimbulkan bersinggungan  secara hukum. Hal ini bisa diakibatkan oleh adanya rasa kecemburuan social, maupun kebiasaan kebiasaan ngrumpi atau bahkan hal yang diluar kesengajaan. Hal yang sebenarnya seringkali kita anggap biasa saja bisa berakibat kita harus berhadapan dengan sebuah delik aduan Pencemaran nama baik. Untuk itulah ada baiknya kita cermati hal hal berikut :
Berdasarkan terjemahan WvS (Wetboek van Straftrecht) versi dari Tim Penerjemah BPHN,Tahun 1988, maka terjemahan :
 Pasal 310 ayat (1) WvS berbunyi “ Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah
Pasal 310 ayat (2) menurut terjemahan WvS versi Tim Penerjemah BPHN, Tahun 1988 adalah  jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.
Ada beberapa unsur yang harus dicermati dalam Pasal 310 ayat (1) yaitu: Unsur kesengajaan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal dan unsure maksud untuk diketahui umum. Sementara unsur tambahan dalam Pasal 310 ayat (2) adalah unsure dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan dimuka umum
Dalam doktrin tindak pidana penghinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 310 WvS
(KUHP) maka badan hukum privat tidak bisa menggunakan ketentuan ini, namun bisa
menggunakan ketentuan dalam Pasal 1372 BW (KUHPerdata). Untuk informasi lebih lanjut, doktrin hukum tentang penghinaan di Indonesia tidak memisahkan antara opini dengan fakta dan juga tidak mempertimbangkan sama sekali kebenaran sebuah fakta . Asalkan sebuah pernyataan dianggap menghina oleh korban, maka unsur kesengajaan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal sudah dapat terpenuhi. Selain itu, berdasarkan pendapat MA melalui putusan No. 37 K/Kr/1957 tertanggal 21 Desember 1957 yang menyatakan bahwa tidak diperlukan adanya animus injuriandi (niat kesengajaan untuk menghina).
Menurut Satrio, unsur kesengajaan bisa ditafsirkan dari perbuatan atau sikap yang dianggap sebagai perwujudan dari adanya kehendak untuk menghina in casu penyebarluasan dari
pernyataan yang menyerang nama baik dan kehormatan orang lain. Hal yang menarik dari
unsur kesengajaan ini adalah tindakan mengirimkan surat kepada instansi resmi yang isinya
menyerang nama baik dan kehormatan orang lain sudah diterima sebagai bukti adanya unsur
kesengajaan untuk menghina.

            Untuk itulah ada baiknya kita berhati hati dalam bertindak dalam berinteraksi.

Sabtu, 04 Februari 2012

STANDAR PERLINDUNGAN HUKUM BAGI GURU

Jumlah guru yang banyak dengan sebaran yang sangat luas merupakan potensi untuk mendidik anak bangsa. Namun demikian banyak kondisi yang menyebabkan sebagian guru terbelenggu dengan fenomena sosial, kultural, psikologi, ekonomis, kepegawaian dll. Fenomena ini bersumber dari apresiasi dan pencitraan masyarakat terhadap guru belum begitu baik, serta perlindungan hukum, perlindungan profesi, perlindungan kesejahteraan, dan perlindungan keselamatan kerja bagi mereka belum optimal.

Sejarah pendidikan di Indonesia menunjukkan bahwa perlakuan yang cenderung diskriminatif terhadap sebagian guru telah berlangsung sejak Zaman pemerintahan Belanda. Hal ini membangkitkan kesadaran untuk terus mengupayakan agar guru mempunyai status, harkat serta martabat yang jelas dan mendasar. Dan salah satu wujud dari itu adalah UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Diundangkannya UU No. 14 Tahun 2005 merupakan langkah maju dalam upaya mengangkat harkat dan martabat guru, kususnya dalam bidang perlindungan hukum. Sebab dalam UU ini ranah perlindungan terhadap guru meliputi perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan kerja, termasuk juga didalamnya perlindungan  Hak atas Kekayaan Intelektual atau HaKI.

Sepanjang berkaitan dengan hak guru atas beberapa demensi perlindungan sebagaimana dimaksudkan di atas, sampai sekarang belumlah ada rumusan yang komprehensif atas dasar itulah perlu dirumuskan standar yang memungkinkan terwujudnya perlindungan hukum, perlindungan profesi, perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja serta perlindungan atas Hak atas Kekayaan Intelektual masih harus terus diperjuangkan.