Pada masa sekarang ini Kasus Hukum terkait interaksi social rasanya
makin banyak, baik kasus yang disebabkan oleh interaksi langsung maupun
interaksi dengan menggunakan technologi. Masih segar di ingatan kita masalah
Prita Mulyasari dengan RS. Omni (Rumah Sakit Omni Internasional). Rasa
kecewa yang ditumpahkan (curhat) melalui
email dan disebarkan melalui mailing list. Akhirnya, berita kecewa itu menyebar
dari satu email ke email lainnya, dari milis A ke milis B, dan seterusnya
hingga akhirnya terbaca oleh pihak RS. Omni. Penyelesaian yang ditempuh dari
pihak RS. Omni adalah dengan memperkarakan Prita dan berujung pada penjara
dengan delik aduan pencemaran nama baik. Prita didakwa dengan Pasal 27
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (Undang-Undang ITE) tentang
pencemaran nama baik lewat dunia maya.
Menilik kasus seperti yang
dialami Prita, maka kita sebagai guru seharusnya lebih hati hati dalam
berinteraksi, karena interaksi social kita sebagai guru terkadang harus
bersinggungan pula dengan orang lain. Baik interaksi sesama rekan sejawat, masyarakat
bahkan orang tua murid. Interaksi dengan relasi / teman sejawat sering juga
menimbulkan bersinggungan secara hukum. Hal
ini bisa diakibatkan oleh adanya rasa kecemburuan social, maupun kebiasaan
kebiasaan ngrumpi atau bahkan hal yang diluar kesengajaan. Hal yang sebenarnya
seringkali kita anggap biasa saja bisa berakibat kita harus berhadapan dengan
sebuah delik aduan Pencemaran nama baik. Untuk itulah ada baiknya kita cermati
hal hal berikut :
Berdasarkan terjemahan WvS (Wetboek van
Straftrecht) versi dari Tim Penerjemah BPHN,Tahun 1988, maka terjemahan :
Pasal 310 ayat (1) WvS
berbunyi “ Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik
seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya
hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara
paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu
lima ratus rupiah
Pasal 310 ayat (2) menurut terjemahan WvS
versi Tim Penerjemah BPHN, Tahun 1988 adalah
“jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan,
dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena
pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat
bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.
Ada beberapa unsur yang harus dicermati dalam
Pasal 310 ayat (1) yaitu: Unsur kesengajaan menyerang kehormatan atau nama
baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal dan unsure maksud untuk
diketahui umum. Sementara unsur tambahan dalam Pasal 310 ayat (2) adalah unsure
dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau
ditempelkan dimuka umum
Dalam doktrin tindak pidana penghinaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 310 WvS
(KUHP) maka badan hukum privat tidak bisa menggunakan ketentuan ini,
namun bisa
menggunakan ketentuan dalam Pasal 1372 BW (KUHPerdata). Untuk
informasi lebih lanjut, doktrin hukum tentang penghinaan di Indonesia tidak
memisahkan antara opini dengan fakta dan juga tidak mempertimbangkan sama
sekali kebenaran sebuah fakta . Asalkan sebuah pernyataan dianggap menghina
oleh korban, maka unsur kesengajaan menyerang kehormatan atau nama
baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal sudah dapat terpenuhi. Selain
itu, berdasarkan pendapat MA melalui putusan No. 37 K/Kr/1957 tertanggal 21
Desember 1957 yang menyatakan bahwa tidak diperlukan adanya animus
injuriandi (niat kesengajaan untuk menghina).
Menurut Satrio, unsur kesengajaan bisa
ditafsirkan dari perbuatan atau sikap yang dianggap sebagai perwujudan dari
adanya kehendak untuk menghina in casu penyebarluasan dari
pernyataan yang menyerang nama baik dan kehormatan orang lain. Hal
yang menarik dari
unsur kesengajaan ini adalah tindakan mengirimkan surat kepada
instansi resmi yang isinya
menyerang nama baik dan kehormatan orang lain sudah diterima sebagai
bukti adanya unsur
kesengajaan untuk menghina.
Untuk itulah ada
baiknya kita berhati hati dalam bertindak dalam berinteraksi.